Ini adalah dalil yang disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Sholihin mengenai bolehnya berdzikir dengan biji tasbih.
Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, Kitab Al-Adzkar, Bab Keutamaan Dzikir dan Dorongan untuk Berdzikir
Hadits #1442
وَعَنْ سَعْدٍ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوىً – أَوْ حَصَىً – تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ : (( أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا – أَوْ أفْضَلُ – )) فَقَالَ : (( سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَسُبحَانَ اللهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ ، وَاللهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ ، وَالحَمْدُ للهِ مِثْلَ ذَلِكَ ؛ وَلاَ إلَهَ إِلاَّ اللهُ مِثْلَ ذَلِكَ ، وَلاَ حَولَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ مِثْلَ ذَلِكَ )) . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) .
Dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu bahwa ia bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat seorang wanita dan di hadapannya ada beberapa biji atau beberapa kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbihnya. Beliau pun bersabda, “Tidakkah engkau suka kalau aku beritahukan padamu tentang sesuatu yang lebih mudah untukmu daripada ini—atau lebih utama–?” Selanjutnya beliau bersabda, “Yaitu Mahasuci Allah sebanyak hitungan yang diciptakan oleh-Nya di langit. Mahasuci Allah sebanyak hitungan yang diciptakan oleh-Nya di bumi. Mahasuci Allah sebanyak hitungan yang ada di antara langit dan bumi. Mahasuci Allah sebanyak ciptaan-Nya Yang Dia ciptakan. Allah Mahabesar seperti itu, segala puji hanya bagi Allah seperti itu, tiada Ilah kecuali Allah seperti itu, dan tiada daya serta tiada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah seperti itu pula.” (HR. Tirmidzi, ia menyatakan bahwa hadits ini hasan) [HR. Tirmidzi, no. 3568 dan Abu Daud, no. 1500. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly mengatakan bahwa hadits ini dha’if dalam Bahjah An-Nazhirin, 2:463]
Faedah Hadits
Karena status terhadap hukum hadits yang berbeda, maka dihasilkan hukum yang berbeda pula. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly menganggap bahwa berdzikir dengan menggunakan biji tasbih termasuk menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir dengan menghitungnya menggunakan jari-jemari tangan kanannya. Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata,
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami, “Hendaknya kalian bertasbih (ucapkan subhanallah), bertahlil (ucapkan laa ilaha illallah), dan bertaqdis (menyucikan Allah), dan hitunglah dengan ujung jari-jemari kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak bicara (pada hari kiamat), janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 3583 dan Abu Daud, no. 1501 dari hadits Hani bin ‘Utsman dan dishahihkan oleh Imam Adz-Dzahabi. Sanad hadits ini dikatakan hasan oleh Al-Hafizh Abu Thahir)
Ulama lainnya mengungkapkan bahwa berdzikir dengan menggunakan biji tasbih masih dibolehkan, sama seperti dengan menggunakan biji atau kerikil dalam hadits ini. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mengingkarinya. Adapun petunjuk pada yang lebih afdal dengan menggunakan jari-jemari saat berdzikir tidaklah menunjukkan terlarangnya berdzikir dengan menggunakan biji tasbih. Lihat Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 17:206.
Hukum Biji Tasbih Menurut Ibnu Taimiyyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
“Menghitung tasbih dengan jari itu dianjurkan (disunnahkan). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk berbicara.”
Sedangkan berdzikir dengan menggunakan biji atau kerikil atau pun semisalnya maka itu adalah perbuatan yang baik. Di antara para sahabat ada yang melakukan seperti itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat salah seorang isterinya bertasbih dengan menggunakan kerikil dan beliau membiarkannya. Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Hurairah bertasbih dengan menggunakan kerikil.
Adapun bertasbih dengan menggunakan manik-manik yang dirangkai menjadi satu (sebagaimana biji tasbih yang kita kenal saat ini, pen.) maka ulama berselisih pendapat. Ada yang menilai hal tersebut hukumnya makruh, ada pula yang tidak setuju dengan hukum makruh untuk perbuatan tersebut.
Kesimpulannya, jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik (baca: ikhlas) maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.
Adapun memiliki biji tasbih tanpa ada kebutuhan untuk itu atau mempertontonkan biji tasbih kepada banyak orang semisal dengan mengalungkannya di leher atau menjadikannya sebagai gelang di tangan atau semisalnya maka status pelakunya itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia riya’ dengan perbuatannya tersebut. Kemungkinan kedua, dimungkinkan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan riya’ dan perbuatan tersebut adalah perbuatan menyerupai orang-orang yang riya’ tanpa ada kebutuhan.
Jika benar kemungkinan pertama maka hukum perbuatan tersebut adalah haram.
Jika yang tepat adalah kemungkinan yang kedua maka hukum yang paling ringan untuk hal tersebut adalah makruh.
Sesungguhnya memamerkan ibadah mahdhah semisal shalat, puasa, dzikir dan membaca Al-Qur’an kepada manusia adalah termasuk dosa yang sangat besar”. (Majmu’ah Al-Fatawa, 22:506)
Wallahu waliyyut taufiq.
Baca selengkapnya mengenai “Hukum Biji Tasbih”:
Referensi:
- Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 2:463;
- Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Penerbit Dar Kunuz Isybiliyyah.
- Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani. Penerbit Darul Wafa’.
—
Disusun di Perpus Rumaysho, 20 Jumadats Tsaniyyah 1439 H (8 Maret 2018), Kamis siang
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com